Rabu, 30 September 2015
Sejarah Singkat
PEMADAMAN
URANG BANJAR
(sebuah catatan awal dari berbagai sumber)
*Masih dikoreksi
*Masih dikoreksi
Orang Banjar kebanyakan adalah kelompok besar masyarakat
yang memiliki keahlian dalam pelayaran, mereka bahkan dapat melakukan migrasi
(madam; bahasa Banjar) menyebar hingga Asia Tenggara. Kedatangan masyarakat
Banjar ke tanah Kuala Tungkal dan sekitarnya (kawasan Tungkal Ilir) menyebabkan
daerah itu menjadi ramai karena membentuk kawasan pemukiman padat penduduk.
Banyak sekali faktor yang menyebabkan hijrahnya masyarakat Banjar ke pemadaman
(perantauan) melalui beberapa fase migrasi. Dengan banyak orang-orang yang
datang ke Kuala Tungkal, sehingga menjadikan daerah pantai provinsi Jambi
menjadi kawasan konsentrasi para imigran dari berbagai daerah di Indonesia dan Asean yang ramai penduduk.
Pada akhir abad ke 19 dan
awal abad ke 20, migrasi orang-orang dari berbagai daerah ke Kuala Tungkal dan
sekitarnya (Tungkal Ilir) secara besar-besaran ketika
itu adalah orang-orang Banjar dari Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi
penduduk pendatang atau kelompok migran (migrantengroepen)
mayoritas (terbesar dan paling ramai) di kawasan Kuala Tungkal dan
sekitarnya bahkan daerah Jambi. Sehingga etnis Banjar yang
tinggal di Sumatera dan Malaysia merupakan anak, cucu,
intah, piat dari para migran etnis Banjar.[1]
Kemungkin penduduk Banjar di Tungkal Ilir sekarang ini telah beranak-pinak 5-6
generasi.
Migrasi yang dilakukan oleh sebagian masyarakat dilakukan
karena beberapa motif. Ada dua motif besar yang menyebabkan migrasi orang
Banjar ke berbagai daerah di Indonesia dan luar negeri, khususnya ke wilayah
Tungkal Ilir (Kuala Tungkal dan sekitarnya), yaitu motif politik dan motif
ekonomi. Karena adanya perang Banjar (perang antara Kerajaan Banjar dan
pemerintah kolonial Belanda) yang terjadi pada pertengahan abad
ke 19 sehingga mengakibatkan Kerajaan Banjar kalah. Hal tersebut mengakibatkan kuatnya tekanan
politik-ekonomi oleh Belanda, maka membuat orang-orang Banjar harus (boleh
dikatakan mau tidak mau) meninggalkan kampung halaman (rumah-rumah). Mereka
memiliki keahlian untuk mengarungi samudera yang sangat luas, laut yang sangat
dalam dan lokasi yang sangat jauh yang bukan hanya di dalam negeri (dalam pulau
dan antar pulau), bahkan hingga keluar negeri. Sehingga menyebabkan mereka
harus membekali diri mereka dengan banyak keahlian selama melakukan pelayaran
dan perantauan selama di tempat yang baru nanti. Dengan merasa memiliki
kehandalan dalam dalam ilmu bidang pelayaran, masyarakat Banjar dapat bergerak
ke seluruh Asia Tenggara.
A.
Motif Pemadaman
Secara umum, motif pemadaman (penghijrahan) orang-orang
Banjar ke Sumatera dan Malaya dapat diceritakan sebagai berikut:[2]
1.
Tekanan politik yang tinggi
Fenomena
migrasi itu faktor ekonomi bukanlah semata-mata yang menjadi bahan pertimbangan
mereka, dikarenakan faktor lain seperti faktor politik yang kadang-kadang
membuat orang harus pindah ke daerah lain.[3] Hal senada juga diungkapkan oleh Bambang
Purwanto, “Ketika tekanan politik Belanda terhadap Banjarmasin dan
kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan semakin intensif, orang-orang Bugis dan
Banjar semakin banyak yang membuka daerah rawa-rawa di sepanjang pantai timur Sumatera. Selain
menjadi nelayan, orang Banjar dan Bugis ini juga mulai membuka kebun kelapa dan
lahan persawahan padi pasang surut, seperti di daerah Sunsang dan muara sungai
Batanghari dan Siak”.[4]
Perlu
diketahui, bahwa orang-orang Banjar di Jambi melakukan migrasi bukan hanya
menghuni di muara Sungai Tungkal yang menjadi penduduk kebanyakan (mayoritas),
yaitu Kuala Tungkal dan sekitarnya (Tungkal Ilir) saja tetapi juga di muara
sungai Batanghari (Muara Sabak) namun tidak sebanyak di Tungkal Ilir, yang mana
mereka juga membuka persawahan dan pertanian kelapa.
Terjadinya hijrah (madam keluar daerah) besar-besaran oleh
penduduk Banjar ke Sumatra dan
Malaya karena adanya tekanan politik atau tekanan
penjajah yang tinggi dan konflik yang besar. Pemadaman terjadi 4 tahap, yaitu:[5]
a.
Akibat tejadinya Perang Banjar, banyak terjadi pengungsian,
eksodus, migrasi bahkan diaspora keluar daerah (pulau) antar pulau bahkan
keluar negeri. Pada tahun 1780, orang-orang Banjar yang berhijrah pada tahun
ini pada umumnya adalah pendukung Pangeran Amir yang mengalami kekalahan dalam
perang saudara sesama bangsawan Banjar.
b.
Selanjutnya pada tahun 1862, orang-orang Banjar yang
berhijrah pada tahun ini umumnya adalah pendukung Pangeran Antasari dalam
Perang Banjar (mulai meletus pada tahun 1859). Mereka terpaksa melarikan diri,
sebab sebagian pejuang yang tertangkap dihukum mati oleh Belanda.[6] Perang tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah Belanda
dalam perekonomian yang melakukan monopoli pembelian dan penjualan komoditas
pertanian ke luar negeri di mana sebelumnya saudagar-saudagar Banjar mengadakan
hubungan langsung dalam penjualan komoditas pertanian tersebut ke luar negeri,
sehingga menimbulkan kemakmuran kepada rakyat dalam kerajaan Banjar. Politik
monopoli ekonomi oleh Belanda tersebut mendatangkan kerugian kepada saudagar
dan pedagang Banjar dan menyengsarakan petani/rakyat kecil. Apalagi Belanda
sudah dapat mempegaruhi beberapa bangsawan di kerajaan Banjar, dengan sebab tersebut
timbulah pemberontakan rakyat Banjar.[7]
c.
Kemudian pada tahun 1898, orang-orang Banjar yang berhijrah
pada tahun ini umumnya adalah disebabkan terjadinya perlawanan rakyat terhadap
penjajah Belanda di Kandangan dan Barabai yang dikenal dengan peristiwa “Amuk
Hantarukung”. Akibat peristiwa itu banyak orang Banjar dikedua daerah itu yang
biasa disebut orang Alai berhijrah untuk menyelamatkan diri ke Sumatera dan Malaysia.
d.
Terakhir di tahun 1905 kembali orang-orang Banjar melakukan
migrasi secara besar-besaran. Hal itu terjadi karena di tahun tersebut Sultan
Muhammad Seman, Sultan Banjar terakhir yang melakukan perlawanan tewas oleh
tentara Belanda (mati syahid di tangan Belanda), sehingga praktis setelah itu
berakhir Perang Banjar. Banyak orang Banjar yang tidak rela hidup di bawah kaki
penjajah. Mereka inilah yang kemudian juga berhijrah ke Sumatera dan Malaysia.
2.
Monopoli
ekonomi
Bagi
migrasi pada permulaan dan akhir abad ke-19, motif ekonomi kelihatannya perlu
ditinjau kembali, karena daerah asal
migran, seperti Banjarmasin, Amuntai, Kandangan, Barabai dan Tanjung ternyata
memiliki potensi ekonomi yang cukup baik. Kesemua daerah itu adalah daerah
penghasil beras utama di Kalimantan Selatan. Bagaimanapun, motif ekonomi itu
mungkin merupakan faktor yang penting bagi migrasi yang bermula pada awal abad
ke-20. Dikarenakan tekanan politik yang sangat tinggi terhadap orang-orang
Banjar di Kalimantas Selatan, tentunya hal itu juga sangat berpengaruh terhadap
perekonomian yang dimonopoli oleh pemerintah Hindia Belanda paksa yang
mengakibat kemerosotan ekonomi secara langsung. Dengan adanya monopoli tersebut
banyak pedagang Banjar yang melarikan diri dari Kalimantan sehingga
perdaganganpun terbatas dan sempit. Karena itulah mereka ingin melepaskan diri
dari tekanan-tekanan ekonomi tersebut dengan melakukan pemadaman (hijrah) ke
daerah-daerah yang nantinya diyakini dapat merubah (menjanjikan) penghidupan
menjadi lebih (layak) baik. Sehingga Tungkal Ilir menjadi salah satu daerah
yang tujuan hijrah para migran dari berbagai daerah di Indonesia.
3.
Ketiadaan Pemerintahan yang Islami
Mencari tempat kehidupan yang menjamin perekonomian dan
keamanan serta berhukum dengan hukum Islam, hal itu terbukti dengan madamnya
mereka ke daerah-daerah kesultanan Islam seperti Johor, Perak, Selangor, Deli,
Serdang dan Indragiri serta Kuala Tungkal di bawah kesultanan Islam Jambi, di
samping itu orang-orang Banjar mengharamkan untuk menjadi pegawai pemerintah
Belanda. Kemungkinan keadaan ketiadaan pemerintah yang Islami dan terjadinya
peperangan serta tekanan dari pihak penjajahan Belanda menjadikan situasi
keamanan yang memburuk, sistem hukum Belanda yang enggan diterima oleh
masyarakat, perekonomian yang morat-marit, adanya kerja paksa ditunjang oleh
keperibadian sikap orang Banjar yang bebas merdeka anti penekanan dan
penjajahan, sebagian dari mereka lebih memilih hijrah ke “Banua” lain.[8] Karena
persoalan itulah, maka banyak orang-orang Banjar yang dikenal religius itupun
meninggalkan kampung halamannya untuk mencari kampung halaman baru demi
penghidupan yang baru pula. Orang-orang Banjar taat
ustaz halim
4.
Menghindari kerja paksa
Adapun penyebab mengapa etnis Banjar beremigrasi dari Kalimantan
dikarenakan pada tahun 1905 perlawanan terakhir para Gusti (gelar bangsawan
Banjar) ditumpas, tetapi sisa-sisanya masih mengadakan perlawanan kecil-kecilan
yang cukup membahayakan Belanda. Kerja rodi (bahasa Banjar: erakan) dan pajak
kepala[9] yang dianggap memberatkan,
mengakibatkan dalam periode ini banyak sekali orang Banjar terutama dari Hulu
Sungai mengungsi keluar Kalimantan Selatan pergi ke Sumatera dan Malaysia Barat. Terhadap tekanan rodi
(serta pajak, landrente, pajak pasar, pajak yang dikenakan pada orang yang naik
haji) menimbulkan keresahan sosial (karena rakyat mengetahui bahwa otonomi
dalam bentuk Gemeente Raad yang diberikan pemerintah kolonial hanyalah
untuk kepentingan orang-orang kulit putih alias penjajah) dan perlawanan dari
anak cucu orang sepuluh Amuntai, pemberontakan Nanang Sanusi (1914-1918), dan
pemberontakan Gusti Barmawi di Kelua, Tabalong. Antara tahun 1914-1919 akibat perang
dunia I, Kalimantan Selatan kekuarangan beras yang luar biasa, hingga terkenal
dengan nama ”zaman beras larang” dan ”zaman anti beras”, hidup rakyat menjadi
sangat susah sekali. Sejak tahun 1920-an, akibat rodi ini telah pindah banyak
sekali penduduk Hulu Sungai ke daerah Sapat dan Tembilahan, Indragiri Hilir, di
pantai timur Sumatera dan
Malaysia. Menyusuri jalur sekitar Kalimantan Barat, Pantai Utara Bangka
(Belinyu) menuju Kuala Tungkal dan Tembilahan selanjutnya menyebar ke Sumatera Utara, Batu Pahat dan Perak, Malaysia. Jalur
ini merupakan jalur kuno migrasi etnis Mayan ke Madagaskar. Kemungkinan para
perantauan Banjar ini berasal dari Malaysia kemudian ke Kuala Tungkal atau
sebaliknya.[10]
5.
Migrasi
Terakhir
yang perlu kiranya mendapat perhatian juga adalah bahwa para migran Banjar
bukan hanya langsung dari kalimantan mereka berdatangan, bahkan ada yang dari
Medan, Tembilahan, Malaysia, Makkah dan lain-lainya karena mengikut keluarga
yang telah dahulu menetap di kawasan Kuala Tungkal.
B.
Kedatangan dan Sebarannya
Mengenai kapan kedatangan orang-orang Banjar ke Tungkal
Ilir (Kuala Tungkal dan sekitarnya) tidak dapat diketahui secara pasti kapan
waktunya dan belum ada data yang akurat untuk menunjukkan hal tersebut,
berapakah jumlahnya dan berasal dari manakah mereka apakah langsung datang dari
Kalimantan Selatan, atau mereka yang telah melakukan migrasi ke Malaysia, Sumatera Utara atau
Indragiri Hilir, kemudian
melakukan migrasi lanjutan dan akhirnya menetap di Tungkal Ilir) (froog).
Namun ada beberapa informasi yang dapat dikemukakan mengenai history kedatangan
etnis Banjar yang cukup kiranya
menggambarkan bagaimanakah keadaan mereka sesusungguhnya pada saat
awal-awal mulai ramainya penduduk di daerah yang bernama Tungkal Ilir ini.
Menyebarnya mereka ke berbagai pelosok yang ditandai pula dengan bermunculannya
banyak kampung-kampung kecil di sepanjang sungai dan anak sungai,seperti di
sepanjang sungai Pengabuan, Betara dan sebagian Batang hari.
Kedatangan masyarakat Banjar ke Sumatera khususnya Kuala Tungkal sekitarnya (Tungkal Ilir) menjadikan kawasan
tersebut sebagai kawasan tumpuan kehidupan. Mengenai
kedatangan orang (etnis) Banjar ke Kuala Tungkal, dalam catatan-catatan sejarah
tidak tertulis secara lengkap dan konfrehensip, juga belum diketahui secara pasti bagaimana asal-asul
kedatangannya.
Fenomena mobilitas migrasi,
menurut Van Leur, ia membedakan ada tiga jenis migrasi yang dilakukan oleh
orang-orang Banjar dan Bugis, yaitu migrasi
yang dilakukan ketika pemerintah kolonial berkuasa di tanah Borneo dan Selebes,
migrasi secara besar-besaran dan migrasi individu sehubungan dengan pembentukan otoritas. Kolonisasi
terjadi ketika suatu daerah hampir tak berpenghuni, seperti yang terjadi
di bagian timur Sumatera,
Riau, Jambi dan
Bengkalis. Mereka menetap di sana
untuk waktu yang lama, pada dekade keenam
abad ke 14, begitu juga halnya dengan orang-orang Minangkabau.
Akan tetapi daerah yang terlebih dahulu banyak penghuni dari kalangan migran
Banjar (Kalimantan Selatan) dan Bugis (Sulawei Selatan) di bagian timur Sumatera
adalah Riau pada abad ke 17. Hal tersebut menandakan bahwa kedua kelompok etnis
tersebut melanjutkan pola migrasi dari periode
pra-kolonial hingga hancurnya kerajaan di
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Secara umum, dua kelompok etnis
tersebut melakukan migrasi secara berkelompok dan mobile.[11]
Kemudian masing-masing
mereka membentuk komunitas mereka sendiri, begitu juga setelah mereka menghuni
daerah Tungkal Ilir.
Adapun tujuan (lokasi) utama madamnya orang-orang Banjar di Sumatera setelah terjadi peperangan di Kerajaan Banjar adalah Perbaungan (Serdang),[12]
Deli dan Langkat (Sumut), Tembilahan[13] (Indragiri
Hilir), Kuala Tungkal (Jambi), Johor, Perak dan Selangor (Malaysia). Sedangkan
orang-orang Banjar di Tungkal Ilir, mayoritas mereka adalah orang-orang yang
langsung datang dari Kalimantan Selatan, ataupun dari Sumatera Utara, Tembilahan dan Malaysia kemudian tinggal dan menetap di Jambi
khususnya di Kuala Tungkal dan sekitarnya. Tidaklah mengherankan, bahwa
orang-orang Banjar yang berada di luar Tungkal Ilir, seperti di kota Jambi,
Batang Hari dan kabupaten/kota lainnya, mayoritas mereka adalah orang-orang
Banjar yang berasal dari Kuala Tungkal (Tungkal Ilir) dan Tembilahan. Begitu
juga di Sumatera Utara, Tembilahan dan Malaysia, banyak juga orang-orang
Banjar yang berasal dari Tungkal Ilir, begitulah seterusnya. Dengan demikian,
seolah-seolah daerah tersebut merupakan kawasan “segi empat” jalur migrasi
orang Banjar di luar daerah asalnya. Jadi, seolah-olah terjadilah pertukaran
penduduk Banjar antar daerah mayoritas. Kemudian setelah berlalalunya waktu,
para perantau Banjar dan keturunannya yang berada di Sumatera khususnya Tungkal Ilir yang membentuk perkampungan, berinteraksi,
berbahasa, berkawin dengan sesama, beradat-budaya Banjar yang masih cukup
kental yang terdapat banyak di perkampungan di daerah Tanjung Jabung.
Informasi yang diperoleh yaitu, pada awalnya daerah ini
merupakan pantai kosong. Orang Banjar yang pertama kali datang di Kuala Tungkal
pada tahun 1850. Kelompok orang Banjar ini berasal dari Kalimantan, mereka
berimigrasi ke Sumatera karena terjadi peperangan di daerah asalnya yakni perang antara
kelompok orang Banjar melawan Belanda yang disebut Perang Antasari. Pemerintah
Hindia Belanda yang menang perang pada tahun 1852 menghapus keberadaan Kerajaan
Banjar. Tekanan politik yang represif dari pemerintah kolonial Belanda itu
menyebabkan banyak orang Banjar bermigrasi ke Sumatera. Dorongan bagi orang Banjar untuk bermigrasi menjadi
semakin kuat karena pada tahun 1900 dilaksanakan kebijakan Tanam Paksa.[14]
Kemudian pada awal abad ke 20 atau
tahun 1900 dari Malaya dan Deli, orang Banjar ada juga yang datang mendiamai
daerah pantai Tanjung Jabung Barat. Dibangunnya kota Kuala Tungkal oleh Belanda
adalah untuk memudahkan menampung hasil pertanian dan kemudian diekspor ke luar
negeri, hasil pertanian tersebut diperoleh dari kebun kelapa dan karet yang
dibangun oleh orang Banjar di sepanjang bahagian ilir sungai Pegabuan dan
Betara.[15]
Kemudian pada tahun
1902 setelah terbuka Kuala Tungkal, maka semakin banyaklah orang yang mulai
berdatangan. Seperti dari etnis Banjar Kalimantan (Selatan) yang beremigrasi dari Malaysia pertama kalinya menginjak Tanah Tungkal ini.
Mereka berjumlah sekitar 16 orang, antara lain ialah, H. Abdul
Rasyid, Hasan, Si Tamin alias Pak Awang, Pak Jenang, Belacan alias Kunyir, Buaji.
Kemudian etnis ini berdatangan lagi dengan jumlah yang agak banyak, yaitu
sekitar 56 orang dikepalai oleh H. Anwari dan iparnya H. Bahruddin dari
Johor Malaya, Kelang dan lainnya. Dengan kedatangan orang-orang ini, maka
bertambah banyaklah pula penduduk Kuala Tungkal seperti etnis
Melayu, Bugis, Jawa, Donok/Laut
yang bayak hidup di pantai/laut, China serta India yang datang untuk berdagang.
Apalagi pemerintah Belanda akan memajukan penanaman kelapa, maka diaturlah pula
tempat-tempatnya, yaitu di Kuala Tungkal, Bram Itam Kiri dan Bram Itam Kanan. Bibit
kelapa diberi oleh pemerintah dengan percuma (gratis). Maka mendengar itu
berduyun-duyunlah orang Banjar, orang Bugis, orang Timur, orang Jawa, orang
Palembang datang ke Kuala Tungkal, maka banyaklah parit-parit yang dibuat untuk
bertanam kelapa. Sedangkan orang Muara Sabak ikut pula pindah mendiami Kuala
Betara. Orang India berdagang barang manisan, barang kain dan lain-lain
sebagainya. Orang-orang Cina membuka pabrik minyak kelapa, pabrik padi dan
pabrik papan.[16] Selain membuka pabrik papan
khususnya kayu jelutung, mereka juga sebagai pedangang getah perca dan rotan
yang langsung mereka jual ke Singapura. Oleh karena permintaan yang besar untuk kayu jenis jelutung,
maka pemerintah Hindi-Belanda mendirikan cabang dari Borneo- Sumatera Handel- Maatschappij di pelabuhan Kuala Tungkal.[17]
Setelah pemerintah Belanda
menaklukkan kesultanan Jambi, administrasinya mulai berjalan, pemberontakan
rakyat Jambi tahun 1916 telah padam, para pelaku utama dan pengikutnya banyak
yang tidak dapat diampuni, dipenjara dan dibuang ke luar daerah. Residen
sebagai penguasa daerah Keresidenan Jambi (Belanda) membuka pintu
selebar-lebarnya bagi siapa saja yang ingin pindah ke wilayah pantai Jambi atau
(Kuala) Tungkal ini untuk bertani. Mereka yang mau diberi dispensasi berupa
bebas pajak beberapa tahun. Maka berdatanganlah orang pindahan dari Kalimantan,
Sulawesi, Jawa dan satu etnis yang
disebut Melayu Timur, dengan istilah lain ada juga yang mengatakan Melayu
Retih.[18]
Semenjak itu dapat dikatakan wilayah pantai yang dinamakan kabupaten Tanjung
Jabung ini menjadi lumbung beras daeah Jambi, di samping ia juga menghasilkan
kopra kebutuhan daerah dan ekspor. Ternyata orang-orang Banjar ini bukan
hanya terdapat di Tungkal Ilir, Muara Sabak dan Dendang saja, tetapi sebenarnya
tersebar ke lain daerah, seperti ke ibukota Muaratebo sebagai penyadap karet,
bersamaan pula dengan hadirnya orang-orang Eropa, Cina, Minangkabau dan
Palembang yang juga berada di sana.[19]
Seperti di Tungkal Ilir, para pendatang bermukim di pantai
seperti orang-orang Banjar dan orang-orang dari Serawak dan Brunai yang dikenal
sebagai Orang Timur. Menurut dongeng, Orang Timur ini datang di jambi ketika
dikalakannya Kerajaan Majapahit, sewaktu mereka menjadi pasukan tentara Jawa.
Pedang-pedang yang dipakai pada waktu itu sering ditemukan di sana-sini di
antaranya Sabak, di mana beberapa pucuk masih terdapat. Akhir-akhir ini telah datang orang-orang asing yang
bekerja selaku penyadap karet di Marga Muara Sabak, Onderafdeeling Jambi yang
pada bulan September 1934 digabung dengan marga Dendang, adalah himpunan dari
orang-orang antara lain sebagaimana pada statistik
penduduk Marga Muara Sabak dan Marga Dendang dalam tahun 1934.[20]
No
|
Etnis
|
Jumlah
|
%tase
|
1
|
Palembang
|
131
|
|
2
|
Orang
Timur
|
1.361
|
|
3
|
Banjar
|
1.120
|
|
4
|
Bugis
|
23
|
|
5
|
Jawa
|
93
|
|
6
|
Singkep
|
438
|
|
7
|
Jambi
|
341
|
|
8
|
Laut[21]
|
244
|
|
Jumlah
|
3.751
|
100
|
C.
Populasi
Menurut sensus yang dilakukan oleh Prof. P. J. Veth dalam
ekspedisinya 1877-1879, bahwa jumlah penduduk Jambi ketika ini adalah sekitar
73.000 jiwa.[22] Kemudian pada tahun 1896,
daerah yang dialiri dua sungai besar, yaitu sungai Tungkal (Pengabuan) dan
Sungai Jambi (Batanghari) dengan dua muara sungainya ke laut berpenduduk
sekitar 76.000 jiwa bertambah 3.000 jiwa.[23]
Sekitar tahun 1910 jumlah penduduk Jambi meningkat hampir tiga kali lipat,
yaitu sekitar 200.000 jiwa.[24]
Walaupun demikian, belum dapat diketahui berapa jumlah penduduk Banjar yang
mendiami daerah pantai Jambi (Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur)
karena belum ada data yang menunjukkan jumlah penduduk Banjar tersebut. Pada
masa-masa tahun tersebut, belum diketahui
berapa jumlah sebaran penduduk Banjar di daerah Tungkal Ilir karena informasi
mengenai hal tersebut belum ditemukan.
Pemukiman
penduduk sering (banyak) dijumpai di sepanjang sungai di dataran rendah (tepi
sungai) Jambi. Sedangkan yang agak jauh dari
tepi sungai, hamparan besar (daerah pedalaman atau daerah luas) masih
benar-benar jarang berpenduduk (berpenghuni). Populasi penduduk yang kecil
tersebut terbukti bahwa seluruh wilayah kediaman Jambi hanya mencapai 4-2 warga
per kilometer persegi pada tahun 1910[25]
dengan jumlah penduduk 205.480 jiwa. Kemudian pada akhir tahun 1914 menurun
sedikit menjadi 205.373 jiwa. Di daerah bawah (hilir) Jambi,
dibangun jalan-jalan di sepanjang tepi sungai sebagai jalan raya. Karena daerah
ini masih kekurangan jalan, maka jalan yang cocok untuk transportasi adalah
(hanya) melalui jalan air (jalan sungai) sebagai
gantinya. Selain itu juga, banyak ditemukan di dekat
tepi sungai lahan yang cocok untuk
budidaya padi. Secara umum dapat
dilihat, bahwa daerah hilir (berawa) yang berada di tepi pantai yang dekat
dengan (dari) aliran sungai adalah kawasan yang paling padat penduduknya.[26] Di
bandindingkan dengan daerah hulu Tanjung Jabung.
Sekitar dekade kedua dan ketiga
abad ke 20, wilayah Tungkal Ilir terutama Kuala Tungkal yang berada tepi pantai
(pantai Tungkal) yang berawa ini. Banyak etnis
bangsa yang bermukim di daerah ini. Secara khusus kedatangan orang-orang Banjar
disebabkan karena pertumbuhan ekonomi di bidang pertanian (padi) dan perkebunan
(kelapa) sudah mulai meningkat dan telah diekspor ke Singapura. Dengan
demikian, hal tersebut menarik minat suku bangsa lain untuk mencari penghidupan
lebih baik dan layak sehingga menetap sebagai penduduk pendatang. Dikarenakan
hal tersebut, pada tahun 1920-1930, penduduk Banjar banyak berdatangan dan
mereka berdomisili di kawasan Tungkal Ilir dan menjadi kelompok terbesar. Dari
beberapa sumber informasi yang didapatkan, bahwa mengenai migrasi orang-orang
Banjar banyak didapati pada tahun 1930-an.
Secara perhitungan, cukup banyak orang-orang Banjar (Kalimantan
Selatan), Bugis (Sulawesi Selatan) dan Minangkabau (Sumatera Barat) yang
menetap (mukim) di luar daerah mereka. Banyak orang-orang (suku bangsa) selain
suku Jawa yang melakukan perantauan ke luar wilayah mereka, dalam perjalanannya
membentuk pula pemukiman seperti halnya tiga suku tersebut. Namun pada
masa-masa ini, karena kekuatannya rendah dan distribusinya terbatas, sehingga
pemukiman mereka sangat sedikit, tapi cukup penting.[27]
Banyak orang-orang asing (dalam dan luar
negeri) yang datang melalui laut (pelayaran) di daerah hilir, sehingga pengaruh dari Malaka, Kepulauan
Riau dan Jawa menunjukkan
dengan jelas; bahkan tampaknya telah
menjadi raja terakhir asal Jawa. Orang-orang
Arab telah memiliki hubungan (akses) ke Jambi beberapa abad lamanya, dengan
adanya hubungan pernikahan dengan keluarga raja (pangeran)
Jambi. Selanjutnya beberapa tahun terakhir banyak
orang-orang Banjar menetap di daerah pantai (benedenlanden).
Penduduk Jambi dianggap sebagai penurut, baik hati, lembut, mudah percaya, tapi
tidak bodoh.[28]
Etnis Banjar, Bugis dan
Minangkabau yang merantau jauh dari tempat kelahiran
(yang berada di luar daerah asal) mereka cukup diperhitungkan karena dapat
ditemukan dalam jumlah besar. Pemukiman dua etnis pertama (Banjar dan Bugis)
memanglah tidak sebegitu besar atau lebih banyak (sedikit) dibandingkan (tidak
seperti halnya) etnis dari Jawa. Akan tetapi dalam kaitannya (jika dibandingkan)
dengan penduduk asli daerah yang mereka tempati (tempat migrasi) jumlah mereka
sangat signifikan atau cukup besar dan sangat penting.[29]
Dalam hal ini seperti yang terjadi di kawasan pantai Tanjung Jabung sebagaimana
menurut Sensus Penduduk pada tahun 1930.
Ada cukup data yang dapat diketahui
mengenai migrasi di luar Jawa. Hal yang
dapat diyakini, bahwa penduduk di pantai Barat Sumatera
telah lama dan sangat gemar melakukan migrasi keluar daerah. Namun data
terakhir menunjukkan bahwa migrasi mereka ke British Malaya (Semenanjung Malaya) berkurang. Begitu
juga pemukiman-pemukiman lama orang-orang Banjar di Riau dan Jambi memberikan
kesaksian panjang mengenai keberadaan migrasi orang-orang Banjar dari Kalimantan
Selatan-Timur (South-East Borneo) yang mulai mengarah ke Pantai Timur Sumatera dan Malaya
Britania (Malaysia).[30]
Pulau Sumatera merupakan tempat (tujuan) utama migrasi orang Banjar, di
samping Semenanjung Malaya. Migrasi orang Banjar di Sumatera pada tahun 1920 ada 33.430 orang atau 39,9%, sedangkan
di Semenanjung Malaya dalam Sensus tahun 1920 tidak terungkap. Di Sumatera orang Banjar banyak terdapat di Sumatera Utara (dulu Sumatera Timur), yaitu 18.258 orang, Riau ada 13.504 orang dan Jambi
2.588 orang dan
selebihnya tersebar di Bengkulu, Palembang dan Bangka.[31]
Kemudian hingga tahun 1930-an (dua dekade kemudian) penduduk
Jambi sudah bertambah banyak, dengan semakin bertambahnya meningkatnya para
imigran khususnya orang-orang
Banjar yang berdatangan
ke Tungkal Ilir. Penduduk Jambi pada saat ini hampir 300.000 jiwa banyaknya.
Mungkin karena pada masa inilah kiranya migrasi yang cukup besar di wilayah Sumatera. Mengenai jumlah penduduk Banjar di perantauan umumnya
di Sumatera Tengah dapat dilihat dari data yang ada
bahwa perantauan Banjar adalah terbanyak di antara etnis lainnya.
Berikut jumlah penduduk Afdeeling Hulu Sungai dengan lima
divisinya menurut Sensus Penduduk tahun 1930.
No
|
Banjar
|
Laki-laki
|
Perempuran
|
Jumlah
|
%tase
|
1
|
Rantau
|
27.460
|
30.339
|
57.799
|
|
2
|
Kandangan
|
59.177
|
64.049
|
123.226
|
|
3
|
Barabai
|
59.035
|
64.718
|
123.753
|
|
4
|
Amuntai
|
76.516
|
82.944
|
159.460
|
|
5
|
Tanjung
|
42.065
|
45.268
|
87.333
|
|
Jumlah
|
264.253
|
287.318
|
551.571
|
100
|
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa orang-orang Banjar berasal
dari satu kawasan, yaitu Afdeeling Hulu Sungai yang menurut Sensus tahun 1930
meliputi kawasan Rantau, Kandangan, Barabai, Amuntai dan Tanjung.[32]
Namun untuk 2 daerah, Rantau dan Kandangan tidak ada data yang menunjukkan
bahwa orang-orang Banjar di Tungkal Ilir berasal dari 2 daerah tersebut, atau
jikapun ada, jumlahnya hanya sedikit. Mengenai para migran Banjar yang
terbanyak di Jambi adalah di Kuala Tungkal dan sekitarnya, yaitu di kawasan hilir
Jambi yang mana mayoritas mereka berasal dari Kalimantan Selatan dan juga
Kalimantan Timur, sebagaimana dilihat pada data berikut:[33]
Statistik asal etnis Banjar Tungkal Ilir tahun 1930.
No
|
Banjar
|
Laki-laki
|
Perempuran
|
Jumlah
|
%tase
|
1
|
Hulu
Sungai[34]
|
4.198
|
3.959
|
8.157
|
|
2
|
Barabai
|
1.406
|
1.318
|
2.724
|
|
3
|
Amuntai
|
1.358
|
1.272
|
2.630
|
|
4
|
Tanjung
|
995
|
973
|
1.968
|
|
Jumlah
|
7.957
|
7.522
|
15.479
|
100
|
Beberapa bulan kemudian masih
dalam tahun yang sama, penduduk pribumi dari kalangan orang-orang Banjar di
Jambi bertambah sedikit. Sebagaimana sensus pada tahun 1930 bahwa jumlah orang
Banjar menjadi 15.994 orang (8.110 laki-laki dan 7.878 perempuan) atau 6,82
% dari 284.588 orang jumlah penduduk Jambi (120.380 laki dan 114.147 perempuan).[35]
Etnis
Banjar Sumatera juga merupakan kelompok
migran di Sumatera Tengah (Midden Sumatra) yang mana jumlah anak-anak
kecil relatif tinggi jika dibandingkan dengan kelompok-kelompok penduduk asli. Karena banyaknya anak
laki-laki Banjar, mengakibatkan kecenderungan anak-anak Banjar itu dewasanya
menikahi wanita penduduk asli (kawin silang). Sebagaimana hal tersebut terjadi
dalam sensus pada tahun 1930.[36] Di wilayah tujuan migrasi (Pantai Timur Sumatera Utara, Tapanuli, Jambi, Bengkulu dan beberapa daerah di Jawa) jumlah
perempuan relatif sedikit dibandingkan laki-laki karena banyak (besar) di
antara mereka yang belum menikah (membujang).[37]
Hal itu menunjukkan bahwa dalam rasio anak kecil Banjar Banjar di Sumatera Tengah (Midden
Sumatra)
jauh lebih tinggi dibandingkan daerah asalnya, yaitu Kalimantan. Hal itu menunjukkan bahwa migrasi orang-orang Banjar cukup
besar pada tahun 1930. Hal ini dapat diasumsikan, bahwa secara khusus
gerakan orang-orang Banjar Hulu Sungai melakukan
migrasi hingga ke Midden Sumatra (Sumatera
Tengah) karena keinginan untuk mencari penghidupan di tempat lain dan masih
banyak lahan yang bisa ditempati, terutama untuk membudidayakan karet. Sehingga
pada akhirnya para migran dapat penghidupan yang layak, yaitu menjadi orang
yang berkecukupan. Menunda pernikahan dalam keadaan seperti ini tidaklah
dianggap perlu, begitu juga (bagi yang sudah menikah) membatasi jumlah anak, dengan alasan bahwa biaya hidup dalam perjalanan (biaya
tambahan) untuk keluarga dibawa, karena juga tidak membebani, “banyak anak”
berarti “banyak tenaga kerja” dalam berkeluarga.[38]
Dengan kata lain, “banyak anak, banyak rejeki”.
Daerah imigran selain dari Jawa, kebanyakan mereka dari pantai
Barat Sumatera,
Hulu Sungai Kalimantan Selatan dan
Sulawesi Selatan yang mana jumlah
mereka sangat signifikan. Secara
keseluruhan jumlah mereka di Hindia Belanda (Indonesia) berjumlah 3.336.575 emigran dalam
kawasan masing-masing dan sebanyak 3.332.508 emigran
antar daerah. Di British Malaya
(Malaysia) pada tahun 1931 jumlah penduduk Indonesia yang
tinggal di sana mencapai 153.758 orang; 31.296 orang berasal dari Sumatera, 20.082 orang dari
Kalimantan dan 4.833 orang berasal
dari Sulawesi.[39]
D.
Back-Migration
Pada tahun 1929-1931, karena harga karet
mulai menurun yang dikendalikan oleh ekspansi perkebunan kelapa semakin besar[40] dan dilanjutkan pula dalam kurun waktu 3
tahun kemudian (1931-1934) harga kopra yang semakin memburuk (menurun), terlebih lagi pada tahun
1933 yang mengakibatkan populasi Banjar menurun drastis, banyak orang-orang
Banjar yang kembali ke kampung halamannya (back-migration)
ke Hulu Sungai
(Kalimantan Selatan dan Timur) untuk mencari penghidupan yang lebih layak,
yaitu sebagai penyadap karet.[41] Selain kembali ke kampung halaman, mereka
juga bahkan pergi melakukan pemadaman ke tempat-tempat yang banyak terdapat
orang-orang Banjar seperti ke Tembilahan (Indragiri Hilir), Langkat (pantai Sumatera
Utara) atau bahkan ke luar negeri seperti Malaysia.
Begitu pula jumlah orang Cina dan Jawa
menurun dikarenakan harga karet juga rendah (menurun)[42] sehingga terpaksa mereka membeli beras impor karena persedian
beras lokal semakin menipis. Secara umum, di daerah Jambi penyedapan karet dilakukan oleh orang-orang yang berpengalaman. Fakta ini
dapat dijelaskan karena hampir seluruhnya dilakukan oleh para emigran (Jawa, Melayu pesisir barat Sumatera,
Banjar dan lain-lain).[43]
Distribusi (penyebaran) orang-orang
Banjar sudah cukup lama, namun dalam perkembangannya, pada tahun 1930 semakin
berkurang. Terutama di Sumatera
bahwa orang-orang Banjar berjumlah hampir 78.000 orang dan di British Malaya
sekitar 20.000 orang dengan jumlah yang cukup banyak. Di seluruh Hindia Belanda (Indonesia) jumlah etnis Banjar adalah 150.000 orang, yaitu sebanyak
orang-orang Bugis yang merantau di luar wilayah asal mereka (Sulawesi Selatan).[44]
Adapun kelompok penduduk yang terbesar di Tungkal Ilir selain
orang Banjar, yaitu orang-orang dari Indragiri, Kuantan, Kampar, Siak, Bugis
dan Jawa. Pada tahun 1934, di Tungkal Ilir terdapat beberapa kelompok besar
sebagaimana pada statistik penduduk Tungkal Ilir.
Namun populasi orang Banjar menurun drastis sebagaimana dalam tahun 1934.[45]
No
|
Etnis
|
Jumlah
|
%tase
|
1
|
Orang Banjar
|
10.823
|
|
2
|
Orang Bugis
|
2.708
|
|
3
|
Orang Jawa
|
1.445.
|
|
4
|
Lain-lain[46]
|
995
|
|
5
|
Orang Jambi
|
2.164
|
|
Jumlah
|
18.135
|
100
|
Selain karena hal tersebut, kemungkinan
kembalinya mereka ke kampung halaman banyak menceritakan bagaimana penghidupan di
pemadaman khususnya selama di Tungkal Ilir, sehingga mendengar informasi
mengenai pengalaman mereka itulah orang-orang Banjar banyak yang mengurungkan
niatnya untuk merantau ke Tungkal Ilir, kemungkinan mereka mencari tempat
lainnya di Sumatera selain di Jambi. Wilayah Midden Sumatra (Sumatera Tengah) terutama
adalah wilayah yang dihuni orang-orang Melayu dan Minangkabau. Namun pada tahun
1930-an setelah migrasi orang-orang dari Kalimantan Selatan dan Timur serta
berbagai tempat dari Jawa ke Jambi, maka semakin bertambahlah penduduk
pendatang, khususnya kalangan dari orang-orang Banjar dan Bugis. Sehingga pada
akhirnya penduduk Kuala Tungkal dan sekitarnya berwarna-warni (multi etnis).
Kemudian pada tahun 1938, kemudian populasi penduduk Kuala
Tungkal (dan sekitarnya) meningkat menjadi
30.000 jiwa.[47]
Namun tidak diketahui berapa jumlah orang-orang Banjar.